Penjual Agar-agar Tunanetra di Cianjur Berjuang Demi Ibu dan Adik

Penjual Agar-agar Tunanetra di Cianjur Berjuang Demi Ibu dan Adik
Di tengah rintik hujan, terduduk seorang pria tua dengan tanggungan berisi agar-agar dalam kemasan di depannya. Seraya termenung menanti hujan reda, pria berkacamata itu berharap seseorang membeli agar-agar dagangannya.
Dia adalah Muhidin (46) seorang penyandang tunanetra yang kesehariannya berjualan agar-agar dengan cara berkeliling di seputaran perkotaan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Pria yang akrab disapa Mang Dede tersebut tak asing bagi warga Cianjur, sebab saat siang hari dia kerap terlihat berjalan dengan hati-hati sambil menanggung dagangannya di ruas Jalan Dr Muwardi atau di jalur protokol lainnya.
Namun tidak banyak yang sadar jika warga Gabng Bali, Kelurahan Bojongherang, Kecamatan Cianjur ini memiliki keterbatasan fisik, dimana sejak belasan tahun lalu penglihatannya tak lagi berfungsi.
Meski begitu, anak ketiga dari lima bersaudara ini menolak untuk menyerah dengan hidup dan sebatas mengandalkan belas kasih orang lain. Dia memilih untuk berusaha dengan berjualan agar-agar demi menghidupi kebutuhan sehari-hari, baik demi kebutuhan pribadi hingga keperluan sang ibu dan adik bungsunya.
Dengan langkah penuh hati-hati, Dede menyusuri jalanan Cianjur. Tongkat rotan pun menjadi mata baginya, menunjukan arah jalan yang tepat dan memberitahunya apabila ada halangan atau sesuatu di depannya.
Perlahan tapi pasti, setiap harinya Dede dapat mengitari perkotaan Cianjur berharap dagangannya laris dan mendapatkan uang untuk membeli beras beserta lauk-pauknya.
Mang Dede mengatakan dirinya sudah berjualan agar-agar sejak 2001 lalu. Kala itu, pengelihatannya masih normal. Bahkan Dede masih sering bermain sepakbola bersama pemuda di kampungnya.
“Mulai jualan agar-agar tahun 2001. Masih bisa lihat saat itu. Jualan juga di sekolah-sekolah SD. Aktivitas masih normal, dagang, main bola, dan lainnya,” ungkap Mang Dede, Rabu (15/11/2023).
Pada 2002, pandangannya mulai mengalami gangguan, dimana Dede mulai merasa pengelihatannya sedikit kabur. Kondisinya pun semakin parah seiring berjalannya waktu.
“Awalnya dianggap akan sembuh dengan sendirinya, tapi malah semakin parah. Saya mulai benar-benar tidak bisa melihat pada 2009,” kata dia.
Dede hanya dapat membedakan siang dan malam tanpa bisa lagi melihat keindahan di sekitarnya. Kala siang hari, Dede seolah melihat kabut putih yang tebal di sekitarnya. Sedangkan ketika di dalam ruangan atau saat malam hari, hanya kegelapan yang dia rasakan.
“Kalau di luar cuacanya bagus, bisa bedakan siang dan malam. Kalau siang seperti kabut depan, yang dilihat putih saja. Kalau malam atau di dalam ruangan yang terlihat hanya gelap,” ungkapnya.